Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
(Jalan Cinta Para Pejuang_ Salim A Fillah)
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
(Jalan Cinta Para Pejuang_ Salim A Fillah)
Jamaah
ini bukan jamaah malaikat tanpa hasrat. Meski tiap pertemuan ada sekat
dan hijab, tetap saja fitnah bersiap siaga menjerat. Suatu fitrah nan
indah dari Sang Pencipta. Tentu saja tak layak diumbar tanpa ikatan yang
sah.
“Nantikan ku di batas waktu, ya ukhti” jelas bukanlah risalah yang dibenarkan syariat, yaa Akhi…
Belajarlah
dari kisah romansa ‘Ali dan Fatimah. Yang sebenarnya saling memendam
rasa begitu lama. Namun tak jua Sang Pria memberanikan diri memulainya
walau lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab telah bermula. Apalah aku
ini, pikir sang pemuda, hanya seorang pemuda yang tak berpunya bahkan
sekadar mahar seadanya.
Tapi lihatlah ketika Allah berkehendak.
“Aku
hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi
saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib
bergembira sebab Allah ‘Azza wa jalla sebenarnya sudah lebih dahulu
menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!”
Demikian perkataan Sang Rasul dalam riwayat yang diceritakan Ummu Salmah
RA.
Sungguh, sebuah Romansa cinta penuh gairah ketaatan pada Robb
nya yang syetan pun tak mereka kabari gejolaknya. Dan cinta pun bersemi
indah hingga ke surga.
Maka mencinta lah sejantan ‘Ali. Menyimpan
rapat di hati atau persilakan sang pujaan meniti mencari ridha Illaahi
tanpa engkau temani. Materi bukan halangan berarti, ya Akhi. Cukuplah
janji Allah engkau yakini. Maka Bismillaah…mantapkan hati.
***
“Nikahkan
aku dengan nya, Yaa Abi…” atau “Ta’aruf-kan Ana dengan si ikhwan, Wahai
Murabbi…” begitu syariat mengajarkan kita, Yaa Ukhti…
“Tapi kan, kita ini akhwat. Masa iya kita yang memulai?”
Ohoho terlupakah kita kekasih sang Rasulullah, Bunda Khadijah?
Dengan
selisih umur yang tak sedikit, dengan status janda dan bujang, dengan
strata social yang tak sepadan, cinta mereka pun menjadi kisah cinta
mengagumkan. Cinta yang tetap abadi walaupun Khadijah tak lagi di sisi.
Bahkan Sang Rasul menangis ketika ditanya kesediaannya untuk kembali
menikah sembari berkata, “Masih adakah orang lain setelah Khadijah?”
Sejarah
telah mencatat, tak berkurang izzahnya sang muslimah ketika
mengutarakan isi hatinya agar bisa terjaga dalam bingkai yang sah.
Lantas, apa yang engkau khawatirkan, wahai Muslimah? Tak khawatirkah
dirimu syetan merajai benak mu hingga berzina-lah hati mu sepanjang masa
menunggu pangeran impian mu itu?
Di Jalan Cinta Para pejuang, kita belajar untuk bertanggung jawab atas perasaan kita
Maka
bertanggung jawablah atas apa yang engkau rasa. Mengutarakannya dengan
cara syariat jelas bukanlah dosa. Bermain-main dengan gejolak hati
justru memancing datangnya syetan penggoda. Tanyakan hati mu seberapa
kuat diri mu menahannya. Ingat juga syetan tak kenal putus asa. Dan kita
bukanlah pribadi terjaga bak ‘Ali dan Fatimah.
Tak selalu cinta
bersemi di taman cinta hingga abadi. Penerimaannya memekarkan benih di
hati. Tentu penolakan bukanlah tanda berakhirnya hari-hari. Ia adalah
jalan yang dipilih Tuhan mu dan Tuhan nya. Mungkin juga pertanda belum
siapnya melangkah. Hingga perlu berbenah hingga yang terbaik menurutNYA
menyapa. Yakinlah IA Maha Tahu yang terbaik untuk kita.
Kau dan
aku telah memilih langkah. Dan di jalan juang lah kita berada. Sebuah
jalan yang tak ada pertolongan selain kekuatan NYA. Dan pertolongan kan
sirna ketika kita hiasi jalan juang ini dengan maksiat atas sucinya
fitrah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan